ANTI TUBERKULOSIS (TBC)
ANTI TUBERKULOSIS (TBC)
A.
Pengertian
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) paru merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB adalah
penyakit infeksi kronis yang sebagian besar meyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya seperti kulit, kelenjar limfe, tulang dan selaput
otak (Sudoyo dkk, 2009). Laporan World Health Organization (WHO) dalam Global
Tuberculosis Report 2013 menyatakan bahwa insiden kasus TB diperkirakan 8,6
juta orang dan kasus kematian akibat TB mencapai 1,3 juta pada tahun 2012.
Indonesia menempati urutan keempat diantara 22 negara dengan beban TB tertinggi
(High Burden Country) di dunia yang berjumlah 400-500 ribu kasus insiden TB per
100.000 penduduk pada tahun 2012. Pada Tahun 2019 WHO melaporkan Indonesia
menduduki posisi ketiga dengan kasus TB tertinggi di dunia. Sementara posisi
pertama dan kedua saat ini adalah India dan Tiongkok. Jika melihat data WHO
tahun 2-19 menyebutkan jumlah estimasi kasus TB di Indonesia sebanyak 845.000
orang. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya sebanyak 843.000 orang. Ini
menepatkan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang 60% dari seluruh
kasus TB di dunia. Menurut kementerian kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011,
Provinsi Jawa Timur memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa
Barat. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011 menunjukkan kasus TB
mencapai 41.404 kasus, sementara Jawa Barat mencapai 62.563 kasus. Kota
Surabaya memiliki kasus TB terbanyak di Provinsi Jawa Timur yaitu 3990 kasus,
diikuti Kabupaten Jember dengan 3334 kasus. Kematian TB di Kota Surabaya
diperkirakan mencapai 10.108 penderita BTA positif .
Menurut kementerian kesehatan
Republik Indonesia Tahun 2013, penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua
kelompok usia, dan nomor satu dari 2 golongan penyakit infeksi. Hasil Riset
Kesehatan Dasar bulan Mei-Juni 2013 melaporkan bahwa prevalensi nasional TB
paru tidak berbeda dengan tahun 2007 yaitu 0,4% dari seluruh penyakit di
Indonesia. Menurut kementerian kesehatan Republik Indonesia Tahun 2011, upaya
pengendalian TB secara nasional dilakukan dengan menerapkan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse) mulai tahun 1995, yaitu strategi
penatalaksanaan TB yang menekankan pentingnya pengawasan untuk memastikan
pasien menyelesaikan pengobatan sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu;
1. Komitmen
politis yang berkesinambungan;
2. Penemuan
kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya;
3. Pengobatan
yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien;
4. Keteraturan
penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; dan
5. Sistem
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja keseluruhan program (kemenkes republik indonesia,
2013).
Pengobatan
strategi DOTS ini umumnya diberikan hingga 6-8 bulan yang diawasi oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk menjamin kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat. Pengobatan diberikan dalam bentuk kombinasi obat dengan jumlah yang tepat
dan teratur, agar semua bakteri dapat dipastikan mati. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang digunakan antara lain isoniazid (H), streptomisin (S), etambutol
(E), rifampisin (R), dan pirazinamid (P).
B.
Pengobatan
Tuberkulosis
Pengobatan penyakit TB yang
disebabkan oleh M. tuberculosis yang masih sensitif Drug Sensitive-Tuberculosis
(DS-TB) membutuhkan kombinasi obat yang terdiri atas 4-5 jenis obat selama 6
bulan atau lebih. Standard terapi untuk pasien DS-TB meliputi kombinasi
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan pertama dan
kombinasi isoniazid dan rifampisin saja untuk 4 bulan berikutnya. Pengobatan
MDR-TB membutuhkan waktu minimal 18 bulan. Pasien dengan MDR-TB mendapatkan
secondline therapy yang meliputi aminoglikosida, antibiotik kuinolon,
sikloserin, dan kapreomisin. Sayangnya, tingkat keberhasilan terapi MDR-TB ini
hanya 48% dan perlu ada upaya untuk meningkatkannya. Tingkat keberhasilan
terapi DS-TB sebesar 85%. Sekitar 9% dari pasien MDR-TB merupakan pasien dengan
XDR-TB (Katsuno dkk., 2015). Sedangkan pengobatan XDR-TB membutuhkan terapi
hingga waktu 2 tahun (Sizemore dkk, 2012). Banyaknya jenis obat yang digunakan
serta lamanya waktu terapi menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien TB di
Indonesia dalam meminum obat antituberkulosis. Hal ini pengobatan TB yang
menggunakan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) first-line, MDR-TB (Multi Drug
Resisten Tuberculosis) (Chan dkk, 2002), extensively drug-resisten tuberculosis
(XDR-TB) menunjukkan kegagalan akibat adanya resistensi
MycobacteriumTuberculosis. Eksplorasi biodiversity di Indonesia terutama
tanaman obat untuk antituberkulosis menjadi tantangan sebagai jawaban dari
penyakit dan kasus resistensi obat sintetis. Sejak tahun 2010 di Farmasi UGM
sudah memulai untuk mengisolasi senyawa aktif dari tanaman obat asli Indonesia
sebagai antituberkulosis, bahkan fraksi ini dilanjutkan penelitian di
Universitas Wuerzburg Jerman tahun 2013. Masih dalam proses pemurnian isolat
ini, skrining dilakukan pada beberapa tanaman obat lainnya dari sumber banyak
keragaman tanaman. Obat baru untuk terapi tuberkulosis sangat diperlukan,
terutama obat dengan mekanisme yang mampu mempersingkat durasi terapi, efektif
terhadap strain M. Tuberculosis sensitif dan strain resisten serta berpotensi
untuk penggunaan dalam bentuk kombinasi. Selain itu dapat digunakan secara
oral, dosis sekali sehari dan murah. Kriteria tersebut sesuai untuk penggunaan
di negara-negara dengan kasus tuberkulosis tinggi seperti negara berkembang
termasuk Indonesia.
C.
Spesialite
Obat-Obat Tuberkulosis
Obat anti-TB lini
pertama |
Kelompok 1 Oral:
isoniazid (INH/H), rifampisin/rifampin (RIF/R), pirazinamid (PZA/Z),
etambutol (EMB/E), rifapentin (RPT/P) atau rifabutin (RFB) |
Obat anti-TB lini
kedua |
Kelompok 2
Aminoglikosida injeksi: streptomisin (STM/S), kanamisin (Km), amikasin (Amk).
Polipeptida injeksi: kapreomisin (Cm), viomisin (Vim) |
|
Kelompok 3
Fluoroquinolon oral dan injeksi: ciprofloksasin (Cfx), levofloksasin (Lfx),
moxifloksasin (Mfx), ofloksasin (Ofx), gatifloksasin (Gfx) |
|
Kelompok 4 Oral: asam
para-aminosaslisilat (Pas), sikloserin (Dcs), terizidon (Trd), etionamid
(Eto), protionamid (Pto), |
Obat anti-TB lini
ketiga |
Kelompok 5 Clofazimin
(Cfz), linezolid (Lzd), amoksisilin plus klavulanat (Amx/Clv), imipenem plus
cilastatin (Ipm/Cln), klaritomisin (Clr). |
Ø Obat Anti-Tuberkulosis
Lini Pertama
Obat anti-TB lini pertama yang
paling efektif adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamide, etambutol, rifapentin
dan rifabutin. Empat obat pertama telah digunakan selama bertahuntahun oleh
penduduk dunia, bahkan isoniazid telah digunakan sejak tahun 1950-an. Kemudian,
dua turunan rifamisin telah diterima sejak tahun 1990. Semua obat lini pertama
ini dapat diberikan secara oral karena mereka bersifat lipofilik.
1.
Isoniazid
(INH/H)
Isoniazid adalah suatu analog
tiasetazon (gambar 23a) yang merupakan obat anti-TB efektif sejak tahun 1940-an
namun memiliki efek toksik (Fox, 1952). Upaya peningkatan efektifitas tiasetazon
dilakukan dengan penggantian cincin fenil dengan cincin piridin karena
berdasarkan penelitian, nikotinamid (gambar 23b) memiliki efek inhibitor
terhadap M. tuberculosis. Salah satu senyawa yang dihasilkan yaitu
isonikotinaldehid tiosemicarbazon (gambar 23c) terbukti lebih aktif daripada
tiasetazon. Hal ini menginspirasi evaluasi intermediet lain dari proses
sintesis hingga pada akhirnya terjadi penemuan asam hidrazid isonikotinat
nikotinat (INH, gambar 23d) yang merupakan obat antituberkulosis terbaik hingga
saat ini (Marriner dkk., 2011). Isoniazid pertama kali disintesis pada tahun
1912. Kemudian aktivitas anti-TB baru dilaporkan pada tahun 1952 (Ma dkk.,
2007). Ribuan turunan INH telah disintesis sejak penemuan pertama INH, namun
tidak ada senyawa turunan yang memiliki peningkatan aktifitas. N-acetyl-INH,
suatu metabolit INH yang diproduksi di dalam tubuh manusia, bersifat tidak
aktif walaupun turunan N-alkil seperti iproniazid (gambar 23e) dan hidrazon
seperti verazid (gambar 23f) menunjukkan efikasi secara in vivo (Kakimoto dan
Tone, 1965; Fox, 1953; Rubbo dkk., 1957; Rubbo dkk., 1958) Isoniazid adalah
salah satu obat anti-TB yang paling luas digunakan dan salah satu komponen
kunci pada terapi lini pertama untuk penyakit aktif. Monoterapi INH selama 9
bulan digunakan untuk mengobati infeksi laten. Isoniazid merepresentasikan agen
bakterisida yang sangat efektif untuk melawan metabolically-active replicating
bacilli (aktif secara metabolism dan mampu menggandakan diri) dan bertanggung
jawab utamanya untuk pengurangan awal kandungan bakteri pada fase awal terapi
(Ma dkk., 2007).
2.
Rifamisin
Rifamisin adalah salah satu
golongan antibakteri paling efektif dan digunakan secara luas dalam terapi TB
saat ini. Rifamisin diisolasi pertama kali pada tahun 1957 dari Amycolatopsis
(dulunya Streptomyces) mediterranei (Sensi, 1983). Awalnya kelas obat ini
merupakan agen terapi yang kurang disukai karena potensinya terlalu rendah,
kelarutan rendah, bioavailabilitasnya rendah (hanya aktif ketika diberikan
secar intra vena) dan waktu paruhnya pendek. Namun, modifikasi struktural dari
rifamisin alami menghasilkan beberapa turunan dengan potensi tinggi dan
tersedia dalam bentuk oral. Saat ini, ada 3 senyawa semisintetik dari kelas ini
yang digunakan dalam terapi, yaitu rifampisin, rifapentin dan rifabutin (gambar
31). Rifampisin menjadi dasar terapi saat ini dengan tanggung jawab utama untuk
mengurangi durasi terapi dari 12 bulan hingga sekarang menjadi 6 bulan.
Rifampisin adalah salah satu obat
anti-TB paling efektif. Rifampisin yang dikombinasi dengan PZA memungkinkan
perpendekkan terapi rutin dari 1 tahun menjadi 6 bulan. Sementara itu, bersama
INH, RIF membentuk dasar regimen terapi kombinasi obat. Rifampisin aktif
melawan bacilli growing dan nongrowing (metabolism lambat) (Mitchison, 1979).
Rifampisin mampu merusak bacilli dormant baik di lokasi seluler maupun
ekstraseluler. Mekanisme aksi rifampisin sama dengan mekanisme aksi rifamisin.
Rifampisin terikat pada β-subunit pada DNA-dependent RNA polymerase sehingga terjadi
penghambatan transkripsi. Akibatnya organisme mati. Rifampisin diperkirakan
berikatan dengan β-subunit di dekat saluran RNA/DNA.
3.
Etambutol
(EMB/E)
Aktivitas anti TB dari etambutol
dilaporkan pertama kali pada tahun 1961. Etambutol membunuh secara aktif
bacilli yang sedang memperbanyak diri dan memiliki aktivitas sterilisasi sangat
lemah. Obat ini hanya sedikit berperan dalam perpendekkan waktu terapi. Fungsi
utama EMB adalah untuk mencegah munculnya resistensi terhadap obat lain di
dalam terapi kombinasi (Ma dkk., 2007).
Ø Obat Anti-Tuberkulosis
Lini Kedua Obat
Lini
kedua bersifat lebih toksik dan kurang efektif daripada obat lini pertama (WHO,
2001). Obat ini sebagian besar digunakan pada terapi MDR-TB dimana waktu terapi
total diperpanjang dari 6 ke 9 bulan (Cheng dkk., 2004). Obat lini kedua dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok berdasarkan prioritasnya secara menurun,
yaitu aminoglikosida injeksi dan polipeptida (kelompok 2), fluorokuinolon
(kelompok 3) dan obat oral lain (kelompok 4).
1.
Aminoglikosida
injeksi dan polipeptida
Pemberian parenteral diperlukan
karena agen golongan ini memiliki sifat polar. Antituberkulosis
aminoglikosida adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas bakteriostatik.
Antibiotik golongan ini diisolasi dari spesies Streptomyces. Struktur
antibiotik golongan ini terdiri dari dasar gugus fungsi aglikon dan mono atau
disakarida yang terikat oleh ikatan glikosidik. Penggunaan terapetik dibatasi
oleh adanya efek samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Steinhilber dkk.,
2010). Streptomisin dan kanamisin (Km) adalah obat dari golongan ini yang
merupakan produk alami sedangkan amikasin (Amk) adalah senyawa semisintetik
yang diturunkan dari kanamisin. Aminoglikosida tidak aktif ketika diberikan
secara oral serta memiliki aktivitas intraseluler terbatas. Selain itu,
golongan ini kurang aktif terhadap mikobakteri dalam kondisi nonreplicating.
Nefrotoksisitas, ototoksisitas dan efek samping lain juga membatasi
penggunaannya. Kanamisin (Km) dan amikasin (Amk) digunakan untuk terapi strain
M. tuberculosis resisten rifampisin dan isoniazid (Ma dkk., 2007).
2.
Streptomisin
Streptomisin merupakan
aminosiklitol glikosida dengan struktur seperti pada gambar 35. Streptomisin
(Stm/S) adalah antibiotik pertama yang berhasil digunakan untuk tuberkulosis.
Namun, segera setelah penggunaan streptomisin sebagai agen terapi, resistensi
muncul akibat pemberiannya sebagai monoterapi (Crofton dan Mitchison, 1948).
Streptomisin menjadi suatu alternatif lini pertama yang direkomendasikan oleh WHO
(Cooksey dkk., 1996). Obat ini ditambahkan pada regimen lini pertama pada
pasien yang sebelumnya telah diterapi dan ada kecurigaan mengalami resistensi
obat (Brzostek dkk., 2004). Walaupun streptomisin direkomendasikan sebagai
anti-TB, obat ini kurang efektif dibandingkan isoniazid dan rifampisin (Johnson
dkk., 2005).
3.
Fluorokinolon
Fluorokinolon adalah suatu
antibakteri sintesis dengan spektrum luas. Golongan ini ditemukan oleh
Sterling-Winthrop Institute pada tahun 1962 sebagai suatu cemaran dalam
sintesis antimalaria kloroquin (Lesher dkk., 1962). Hasil sampingan ini adalah
nalidixic acid (Gambar 39a) dan diterima oleh FDA pada tahun 1963 untuk terapi
infeksi saluran kencing akibat Gram negatif (Marriner dkk., 2011).
4.
Isoksazolidinon
Sikloserin (Dcs) dan terizidon
Memiliki cincin 1,2-oksazolidinon
(isoksazolidinon). Terizidon (trd) adalah analog struktural dari sikloserin
dengan peningkatan tolerabilitas (ramaswamy dan musser, 1998).
DAFTAR
PUSTAKA
Ilmiah, K. T. (2020). MENGKONSUMSI OBAT ANTI TUBERKULOSIS
( OAT ).
Pengantar, K. (n.d.). i | Buku Anti-tuberkulosis.
Komentar
Posting Komentar