LAKSATIF

 Obat Pencahar (Laksatif)

1. Pengertian Laksatif

Laksatif atau pencahar merupakan obat-obatan yang dapat digunakan secara swamedikasi, yaitu zat-zat yang dapat menstimulasi gerakan peristaltik dinding usus pada saat terjadi konstipasi (Sriyatul, dkk, 2017). Konstipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang susah atau jarang mengeluarkan feses. Tetapi menurut kriteria Rome III, seseorang dikatakan mengalami konstipasi bila mengalami beberapa keluhan (dengan minimal 2 keluhan) yaitu sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, mengejan saat defekasi, feses yang keras, perasaan tidak lampias setelah defekasi, perasaan adanya hambatan atau obstruksi saat defekasi, dan adanya evakuasi manual untuk mengeluarkan feses, misalnya dengan jari.

2. Mekanisme Kerja Laksatif

1. Sifat hidrofilik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat massa, konsistensi, dan transit feses bertambah.

2. Laksatif bekerja secara langsung ataupun tidak langsung pada mukosa kolon dalam menurunkan absorbsi NaCl dan air.

3. Laksatif juga dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorbsi garam dan air yang selanjutnya mengubah waktu transit feses.

3. Penggolongan Laksatif:

1. Laksatif serat dan bulk-forming

Agen utama pada kelas laksatif serat dan bulk-forming (psyllium, bran, methylcellulose, ispaghula dan polikarbofil) mudah didapatkan. Mekanisme utama yang umun adalah meningkatkan berat dan absorbsi air pada feses, hasilnya adalah meningkatkan kecepatan pergerakan dorongan pada usus. Laksatif ini biasanya memerlukan beberapa hari untuk bekerja dan pasien yang menderita konstipasi dianjurkan untuk mengkonsumsi air yang banyak untuk menghindari obstruksi. Kerja dari laksatif ini cukup terbatas terutama pada pasien usia lanjut yang terbaring di tempat tidur (Golzarian et al., 1994). Laksatif tersebut meningkatkan motilitas usus, hasilnya adalah penurunan waktu transit kolon dan meningkatkan frekuensi dari pergerakan usus (Tramonte et al., 1997). Banyak studi menyebutkan bahwa laksatif dapat mengurangi nyeri perut serta menyebabkan kentut, dan juga membuat perut kembung yang merupakan efek samping yang mengarah pada spasmodik nyeri perut. Efek ini telah dilaporkan merupakan akibat dari penggunaan serat alami (psyllium), dan hal ini dihubungkan dengan degradasi bakteri. Sedangkan pada methylcellulose (serat semisintetis) efek sampingnya tidak terlalu sering ditemui dan tidak terjadi pada polikarbofil (serat sintesis dari polimer asam akrilat) (Francis et al., 1994).

2. Laksatif Osmotik

Laksatif osmotik meliputi laksatif saline (magnesium hidroksida, magnesium sitrat), dan yang terbaru adalah macrogols (PEG). Walaupun absorbsi terhadap gula rendah dan PEG terkadang diklasifikasikan terpisah dari laksatif saline, senyawa ini memiliki mekanisme umum yaitu memproduksi gradien osmotik, menahan cairan pada lumen kolon dan menyebabkan feses lunak dan memperbaiki dorongan usus. Perbedaan dari senyawa-senyawa ini adalah interaksinya terhadap bakteri usus yang dapat menimbulkan efek samping kentut dan menurunkan keefektifan laksatif.

Magnesium klorida merupakan salah satu senyawa yang cukup tua di kelasnya. Senyawa ini meningkatkan motilitas kolon dan sekresi usus terhadap air dan garam mineral. Pada suatu penelitian pada instituisi dan Rumah Sakit ditemukan bahwa senyawa dapat meningkatkan pergerakan usus lebih sering daripada laksatif bulk-forming tunggal maupun dikombinasi dengan sorbitol dosis kecil (Kinnunen et al., 1989). Selain tidak mahal, menggunakan magnesium pada usia lanjut memberikan efek samping yang lebih kecil, seperti contohnya kentut, kram perut dan toksisitas magnesium (Golzarian et al., 1994), senyawa ini dapat diganggu absorbsinya oleh beberapa medikasi (tetrasiklin, digoksin, klorpromazin dan isoniazide).

Laktulosa adalah disakarida sintesis nonabsorable, dimetabolisme oleh bakteri kolon menjadi asam laktat dan asam inorganik lain (asam asetat, asam propanoat dan asam butirat). Asam-asam ini bisa diabsorbsi oleh mukosa usus. Efek osmotik dari laktulosa biasanya terjadi setelah 2-3 hari, segera sesudah kapasitas bakteri untuk memetabolisme senyawa telah melebihi dan hasilnya meningkatkan gerak peristaltik kolon. Efek samping utama yaitu kentut, kram perut sementara dan hipokalemi (Passmore et al., 1993).

Sorbitol adalah gula alkohol nonabsorable yang memliki kemampuan osmotik dan bekerja pada level kolon. Jika dibandingkan dengan laktulosa yang diberikan pada pasien usia lanjut maka memberikan hasil yang sama, tetapi sorbitol tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan laktulosa dan sedikit menyebabkan pusing. Bagaimanapun, efek samping lain seperti nyeri perut dan kentut tergolong sering dan terbatas pada toleransi pasien.

Macrogol merupakan agen terakhir pada kelas ini. PEG adalah laksatif osmotik yang bisa mengikat molekul air. Larutan elektrolit PEG telah digunakan secara luas untuk membersihkan usus sebelum adanya colonoscopy atau operasi usus. Senyawa ini tidak diabsorbsi dan tidak dimetabolisme oleh bakteri kolon. Volume feses ditingkatkan dan kosistensinya dilembutkan, menghasilkan peningkatan gerak peristaltik (Corazziari et al., 2000).

3. Laksatif Stimulan

Laksatif stimulan adalah laksatif yang sering digunakan secara luas, selain itu juga memiliki efek samping yang lebih rendah. Laksatif stimulan meliputi anthroquinones (sena, aloes, cascara), turunan diphenylmethane (bisacodyl, sodium picosulfate). Castrol oil merupakan laksatif stimulan menjadi kuno serta memiliki efek samping malabsorpsi, dehidrasi, dan lipoid pneumonia. Sementara itu, agen lainnya yaitu phenolphthalein telah ditinggalkan di US dikarenakan karsinogeniknya. Agen ini menyebabkan peningkatan motilitas usus dan sekresi yang disebabkan oleh stimulasi plexus myenterik dan merubah cairan serta aliran elektrolit. Efek laksatif ini adalah dose dependen, dengan cara menghambat absorpsi dari natrium dan air pada dosis rendah dan stimulasi dari natrium dan influk air dalam lumen kolon pada dosis besar (Lembo et al., 2003).   Onset of action terjadi sekitar 8-12 jam tetapi pada pasien usia lanjut yang lemah mungkin akan menghasilkan respon yang lebih lambat.

Anthraquinone (senna, cascara) tidak direabsorpsi dan diubah oleh bakteri kolon kedalam bentuk aktifnya. Pada studi sebelumnya, telah dibandingkan antara kombinasi serat senna dan laktulosa pada penduduk yang menderita konstipasi (rata-rata berumur 82 tahun hingga 83 tahun dalam trial pertama dan kedua secara berturut-turut) (Passmore et al., 1993). Pada kedua studi tersebut, kombinasi serat senna secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan laktulosa (meningkatkan pergerakan usus per minggu, secara berturut-turut). Tidak ada perbedaan efek samping yang terlihat pada studi ini. Mengenai hasil keamanan dari anthraquinone tentang toksisitas selulernya telah diteliti secara in vitro, dideskripsikan pada penggunaan dalam jangka panjang dan perkembangan dari melanosis coli (Wald et al., 2003). Meskipun asosiasi antara kanker colorectal dan melanosis coli masih kontroversi (Nascimbeni et al., 2002). Pada kenyataannya, tidak ada data epidemiologi yang didokumentasikan oleh asosiasi menegenai penggunaan anthraquinone dan peningkatan resiko kanker colorectal pada manusia (Nusko et al., 2000). Efek sampingnya mungkin lebih rendah pada pasien usia lanjut.

Turunan diphenylmethane meliputi bisacodyl dan natrium picosulfate. Bisacodyl tersedia dalam bentuk oral dan suppositoria, belakangan ini ada bentuk yang digunakan untuk manajemen terapi pasien dengan pengeluaran yang lambat. Bioavailabilitas sistemiknya sangat lambat namun suppositoria dapat menyebabkan rasa terbakar pada anus sehingga penggunaan setiap hari harus dihindari. Onset of action dari sediaan oral adalah sekitar 6-12 jam dan untuk suppositoria 15-30 menit (NHS Center for Reviews and Dissemination., 2001).

Natrium picosulfate dihidrolisa oleh enzim bakteri kolon dan hanya menimbulkan efek pada kolon. Sediaan ini menstimulasi mukosa kolon sehingga menginduksi gerakan peristaltik dari kolon. Onset of action nya terjadi sekitar 6-12 jam (NHS Center for Reviews and Dissemination., 2001).

Stool softener (sodium dioctyl sulfosuccinate dan parafin liquid) sudah tidak direkomendasikan untuk terapi konstipasi. Parafin liquid memiliki efek samping yang potensial yaitu mereduksi absorpsi vitamin larut lemak dan resiko lipoid pneumonia setelah aspirasi (Wanda et al., 2004).

4. Enemas dan suppositoria rektal

Enemas menginduksi pergerakan usus dengan menggelembungkan rektum dan kolon. Usia lanjut yang memiliki masalah mobilitas yang serius adakalanya membutuhkan enemas untuk menghindari faecal impaction. Tap water enemas digunakan untuk disimpaction akut dan merupakan tipe penggunaan yang tetap. Evakuasi feses terjadi 2-5 menit setelah administrasi.

Enemasphosphat telah ditingkatkan efek laksatifnya sehingga berpengaruh pada keosmotikannya namun hiperfosfatemia dan hipokalemia dapat terjadi jika enemas ditahan. Sering juga menyebabkan kram perut dan diare. Pada insufficiency renal akut dan kronik, enemas ini seharusnya tidak diadministrasikan karena resiko hiperfosfatemia. Enemas soapsubs (buih sabun) menyebabkan mukosa rektal rusak dan nekrosis sehingga seharusnya tidak digunakan.

Suppositoria gliserol menstimulasi sekresi rektal dengan aksi osmotik dan menyulut refleks defekasi. Onset of action terjadi dalam beberapa menit. Gliserol dapat digunakan untuk menghindari mengejan ketika defekasi. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan iritasi anorektal.

5. Terapi farmakologi misel

Colchicine merupakan salah satu alkaloid antimitotik digunakan sebagai profilaksis demam Mediterranean dan terapi gout artritis. Diare merupakan efek samping yang umun dan terbatas pada masing-masing individu. Colchicine 0.6mg tiga kali dalam sehari selama 4 minggu secara signifikan meningkatkan pergerakan usus dan menurunkan waktu transit kolon dibandingkan dengan plasebo. Meskipun begitu tidak ada pasien yang menderita efek samping serius, nyeri perut setelah penggunaan colchicine. Dari semua data yang didapatkan, sangat terbatas sekali untuk bisa merekomendasikan terapi ini kepada usia lanjut.

Misoprostol merupakan sebuah analog prostalglandin E1 sintesis, digunakan sebagai pencegah dan terapi induksi NSAID penyakit peptik ulcer. Diare merupakan efek samping yang umum terjadi, misoprostol juga pernah diteliti sebagai terapi untuk konstipasi berat (Roarty et al., 1997). Studi ini menemukan bahwa sediaan ini dapat memperbaiki waktu transit kolon, berat feses dan jumlah buang air besar per minggu. Walaupun studi ini hanya sedikit meneliti tentang usia lanjut secara individual, dikarenakan tidak selesainya percobaan karena timbulnya efek samping. Misoprostol sangat sedikit digunakan sebagai terapi konstipasi pada pasien usia lanjut.

Neurotrophine-3 (NT3), merupakan protein growth factor yang terlibat dalam pengembangan sistem saraf (Chalazonitis et al., 2001), cukup sering diinvestigasi sebagai terapi konstipasi. Pada suatu studi menyebutkan bahwa NT3 meningkatkan frekuensi defekasi dan melembutkan feses sebaik meningkatkan proses defekasi pada pasien konstipasi normal (Parkman et al., 2003).

6. Terapi Baru

Lubiprostone merupakan asam lemak bisiklik oral yang mengaktifasi kanal klorid tipe 2 pada sel epitel, mensekresi klorid dan air di lumen usus (Cuppoletti et al., 2004). Pada suatu RCT, lubiprostone dibandingkan dengan plasebo memperlihatkan kenaikan pergerakan usus per minggu, sebaik memperbaiki konsistensi feses, mengejan, konstipasi dengan feses yang keras yang dilaporkan memeberikan terapi yang efektif (Johanson et al., 2008). Salah satu studi menyebutkan, 10% dari studi tersebut adalah terhadap usia lanjut.

Prucalopride adalah turunan dihidrobenzofurancarboxamide, merupakan selektif agonis reseptor 5HT4 memliki afinitas tinggi (Camilleri et al., 2008). Tidak seperti obat lain dalam kelasnya seperti tegaserod, mosapride dan renzapride, prucalopride memiliki afinitas lebih rendah pada hERG (Ether-a-go-go Related Gene protein) (Camilleri et al., 2008). Hal tersebut dipercaya bahwa efek pada kanal hERG memiliki keuntungan pada profil jantung dibandingkan dengan tegaserod. Penelitian baru dengan RCT double-blind menggunakan 84 usia lanjut yang dirawat di rumah dengan kontipasi kronik, 2 mg prucalopride sekali dalam sehari selama 4 minggu cukup aman dan toleransinya baik. Saat ini prucalopride telah diedarkan di Eropa namun bukan di USA.

Linaclotide merupakan agonis reseptor guanilat siklase C yang menstimulasi sekresi cairan intestinal dan transit, hal tersebut sudah diperlihatkan pada studi terhadap binatang (Lembo et al., 2010). Linaclotide menunjukkan keefektifannya dalam meningkatkan endpoint sekunder, seperti misalnya konsistensi feses, mengejan, ketidaknyamanan perut, kembung, serta kualitas hidup. Diare merupakan efek samping yang paling sering.

Alvimopan (Gonenne et al., 2005) dan methylnaltrexone telah diperkenalkan sebagai terapi konstipasi opioid-induce. Kedua agen ini bekerja sebagai antagonis reseptor peripheral yang tidak menembus membran barier otak. Sehingga didapatkan hasil bahwa agen ini mempunyai keutungan yaitu menghambat efek analgesik dari opioid. Pada suatu penelitian secara random yang melibatkan 168 pasien, alvimopan dengan dosis yang baik secara signifikan memproduksi paling sedikit 1 kali defekasi selama 8 jam (Paulson et al., 2005).


4. PRODUK LAKSATIF YANG BEREDAR DI INDONESIA

1. Pencahar Pembentuk Massa

a. Vegeta (kandungan: 5,52 gram Psyllium Husk dan 2,88 gram Inulin Chicory). Sediaan: 1 sachet 8,4 gram.

b. Yoghurt (kandungan metilselulosa, bakteri asam laktat Lactobacillus bulgarius dan Streptococcus thermophillus).

c. Agar-agar swallow (kandungan: agar-agar). Sediaan: kemasan tepung agar- agar 7 gram.

d. Nutrijell (kandungan: agar-agar). Sediaan: kemasan tepung agar-agar 10 gram, 15 gram.

2. Pencahar Emolien

a. Kompolax emulsi (kandungan: liquidum parafin 1,5 gram, phenolphthalein 75 mg, giserin 1 gram). Sediaan: emulsi 60 mL, 115 mL.

3. Pencahar Stimulan

a. Melaxan tablet (kandungan: bisakodil). Sediaan: tablet 5 mg x 4 x 10 butir.

b. Stolax suppositoria (kandungan: bisakodil). Sediaan: suppositoria 10 mg x 6.

c. Kompolax emulsi (kandungan: liquidum parafin 1,5 gram, phenolphthalein 75 mg, giserin 1 gram). Sediaan: emulsi 60 mL, 115 mL.

d. Laxana (kandungan: bisakodil). Sediaan: tablet salut enterik 5 mg x 10.

e. Dulcolax (kandungan: bisakodil). Sediaan: tablet salut enterik 5 mg.

f. Laxamex (kandungan: bisakodil). Sediaan: tablet 5 mg x 4.

g. Laxing tea (kandungan: daun sena 1600 mg, lidah buaya 100 mg, daun the 300 mg). Sediaan: 1 dus berisi 15 teh celup @ 2 gram.


4. Pencahar Laksatif Osmotik

a. Duphalac (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 3, 35 gram / 5 mL x 120 mL.

b. Microlax (kandungan: Natrium lauril sulfoasetat 45 mg, Natrium sitrat 450 mg, Asam sorbat 5 mg, PEG 400 625 mg, Sorbitol 4465 mg). Sediaan: enema 5 mL 3 buah.

c. Lactulax (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 60 mL rasa vanila, sirup 120 mL, dan sirup 200 mL.

d. Fosen (kandungan: Natrium fosfat monobase 19 gram, Natrium fosfat dibase 7 gram). Sediaan: enema 118 mL.

e. Pralax syrup (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 3, 35 gram / 5 mL x 100 mL.

f. Constipen (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 66,7% / 5 mL x 120 mL).

g. Fleet enema (kandungan: Monobasic Na fosfat 19 gram, dibasic Na fosfat 7 gram). Sediaan: botol 133 mL.

h. Lantulos (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 3, 43 gram / 5 mL x 60 mL.

i. Opilax (kandungan: laktulosa). Sediaan: sirup 3, 335 gram / 5 mL x 60 mL, 120 mL.

j. Solac (laktulosa). Sediaan: sirup 3, 335 gram / 5 mL x 120 mL.










Daftar Pustaka


Cahaya, N., Adawiyah, S., & Intannia, D. (2018). Hubungan Persepsi terhadap Iklan Obat Laksatif di Televisi dengan Perilaku Swamedikasi Masyarakat di Kelurahan Sungai Besar Kecamatan Banjarbaru Selatan. PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of Indonesia), 14(1), 108-126.

Camilleri M, Lee JS, Viramontes B, Bharucha AE, Tangalos EG. Insights into the pathophysiology and mechanisms of constipation, irritable bowel syndrome, and diverticulosis in older people. J AmGeriatr Soc 2000; 48: 1142-1150

Camilleri M, Kerstens R, Rykx A, et al. A placebo-controlled trial of prucalopride for severe chronic constipation. N Engl J Med. 2008;358(22):2344–2354.

Chalazonitis A, Pham TD, Rothman TP, et al. Neurotrophin-3 is required for the survival-differentiation of subsets of develop- ing enteric neurons. J Neurosci 2001 Aug 1; 21 (15): 5620-36

Corazziari E, Badiali D, Bazzocchi G, et al. Long term efficacy safety, and tolerability of low daily doses of isosmotic polyeth ylene glycol electrolyte balanced solution (PMF-100) in the treatment of functional chronic constipation. Gut 2000 Apr; 46 (4): 522-6

Cuppoletti J, Malinowska DH, Tewari KP, et al. SPI-0211 activates T84 cell chloride transport and recombinant human ClC-2 chloride currents. Am J Physiol Cell Physiol. 2004;287(5):C1173–C1183.

Francis CY, Whorwell PJ. Bran and irritable bowel syndrome: time for reappraisal. Lancet 1994 Jul 2; 344 (8914): 39-40

Golzarian J, Scott Jr HW, Richards WO. Hypermagnesemia-induced paralytic ileus. Dig Dis Sci 1994 May; 39 (5): 1138-42

Gonenne J, Camilleri M, Ferber I, et al. Effect of alvimopan and codeine on gastrointestinal transit: A randomized controlled study. ClinGastroenterol Hepatol. 2005;3(8):784–791.

Johanson JF, Morton D, Geenen J, et al. Multicenter, 4-week, doubleblind, randomized, placebo-controlled trial of lubiprostone, a locallyacting type-2 chloride channel activator, in patients with chronic constipation. Am J Gastroenterol. 2008;103(1):170–177

Kinnunen O, Salokannel J. Comparison of the effects of magne- sium hydroxide and a bulk laxative on lipids, carbohydrates, vitamins A and E, and minerals in geriatric hospital patients in constithe treatment of constipation. J Int Med Res 1989 Sep; 17 (5): 442-54.

Lembo A, Camilleri M. Chronic constipation. N Engl J Med 2003 Oct 2; 349 (14): 1360-8

Lembo AJ, Kurtz CB, Macdougall JE, et al. Linaclotide is effective for patients with chronic constipation. Gastroenterology. 2010;138:886–895.

Nascimbeni R, Donato F, Ghirardi M, et al. Constipation, an- thranoid laxatives, melanosis coli, and colon cancer: a risk assessment using aberrant crypt foci. Cancer Epidemiol Bitime omarkers Prev 2002 Aug; 11 (8): 753-7

NHS Center for Reviews and Dissemination. Effectiveness of laxatives in adults. Eff Health Care 2001 Sep; 7 (1): 1-12

Parkman HP, Rao SS, Reynolds JC, et al. Neurotrophin-3 improves functional constipation. Am J Gastroenterol 2003 Jun; 98 (6): 1338-47

Passmore AP, Wilson-Davies K, Stoker C, et al. Chronic consti- pation in long stay elderly patients: a comparison of lactulose and a senna- fibre combination. BMJ 1993 Sep 25; 307 (6907): 769-71

Paulson DM, Kennedy DT, Donovick RA, et al. Alvimopan: An oral, peripherally acting, mu-opioid receptor antagonist for the treatment ofopioid-induced bowel dysfunction – a 21-day treatment-randomized clinical trial. J Pain. 2005;6(3):184–192.

Roarty TP, Weber F, Soykan I, et al. Misoprostol in the treat-ment of chronic refractory constipation: results of a long-termopen label trial. Aliment Pharmacol Ther 1997 Dec; 11 (6): 1059-66

Tramonte SM, Brand MB, Mulrow CD, et al. The treatment of chronic constipation in adults: a systematic review. J Gen Intern Med 1997 Jan; 12 (1): 15-24




Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESEP, COPY RESEP DAN ETIKET

MERKURI

OBAT ANTIHISTAMIN