Tahap Pengujian Obat
TAHAPAN PENGUJIAN OBAT
Penelitian
obat yang dilakukan oleh ilmu kimia dan ilmu farmakologi memiliki kontribusi
yang sangat besar terhadap perkembangan pengobatan dalam satu abad terakhir.
Tahap penemuan meliputi penentuan target terapi baik berupa enzim atau reseptor
yang memiliki aktivitas biologis, dan dilanjutkan dengan proses skrining
sehingga diperoleh senyawa yang memiliki aktivitas biologis baik secara in
vitro maupun in vivo. Untuk mengetahui efek farmakologi, suatu senyawa yang
baru ditemukan terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada
hewan, yang disebut sebagai studi pada hewan percobaan. Uji toksisitas diperlukan untuk menilai
keamanan suatu obat, maupun bahan yang dipakai sebagai suplemen ataupun makanan
agar masyarakat terhindar dari efek yang mungkin merugikan. Uji toksisitas
bertujuan untuk mengetahui efek jangka pendek, jangka panjang dan dosis yang
sesuai dari bahan yang mengandung senyawa aktifa.
PENGUJIAN OBAT
1.
UJI PRAKLINIK
Uji praklinik dalam bidang farmakologi
adalah suatu uji yang dilakukan pada hewan coba dan atau pada bahan biologi
lainnya seperti kultur jaringan dan kultur biakan kuman, dengan tujuan untuk
membuktikan kebenaran khasiat dan keamanan secara ilmiah terhadap suatu
bahan/zat yang diduga berkhasiat obat. Pada umumnya uji praklinik dilaksanakan
dengan tujuan untuk penelitian suatu bahan yang diduga berkhasiat obat dan atau
terhadap bahan obat yang telah lama beredar di masyarakat tetapi belum
dibuktikan khasiat dan kemanannya secara ilmiah seperti jamu untuk ditingkatkan
statusnya menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau obat fitofarmaka.
Kajian dalam bidang Ilmu Farmakologi
menyebutkan bahwa untuk penemuan obat sekurang-kurangnya dilakukan melalui 1
dari 4 metode pendekatan ilmiah yaitu:
1.
Pendekatan berdasarkan penggunaan obat secara ”empirik”, yakni penggunaan
metode pengobatan yang dilakukan secara turun temurun, sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Selanjutnya dibuktikan kebenaran khasiat dan keamanaan
secara ilmiah berdasarkan metodologi ilmiah.
2.
Pendekatan berdasarkan ”terjadinya respons obat” yakni adanya ikatan struktur
kimia obat dengan reseptor yang spesifik, yang akan menyebabkan perubahan
konformasi reseptor baik bersifat seluler, molekuler dan biokimiawi serta
enzimatis yang menyebabkan timbulnya respons obat. Berbagai respons obat yang
timbul dapat diprediksi berdasarkan perubahan komformasi reseptor setelah
terikat oleh obat.
3.
Penemuan obat ”secara kebetulan” (to happen), seperti penemuan Penicillin
pertama kali oleh Alfred Flemming (1926) yakni secara kebetulan dalam biakan
kuman yang di kultur ditemukan beberapa koloni kuman dalam satu biakan ada yang
tumbuh dan ada pula yang tidak tumbuh. Ternyata diketahui terhadap koloni kuman
yang tidak tumbuh disebabkan oleh tubuhnya jamur Penicillium notatum dalam
biakan kuman. Selanjutnya dilakukan isolasi dan identifikasi terhadap jamur
tersebut ditemukan Penicillin.
4.
Pendekatan melalui proses ”skrening” yakni melalui proses pemisahan secara
bertahap terhadap bahan yang diduga berkhasiat obat. Pendekatan berdasarkan
proses skrening dilakukan melalui proses pemisahan dengan metode ekstraksi,
mulai yang paling sederhana yakni perasan sampai dengan metode pemisahan bahan
aktif berkomponen tunggal yang berkhasiat obat untuk di uji sebagai obat baru.
2.
UJI TOKSISITAS
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk
mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan yang akan digunakan sebagai obat.
Sedangkan uji aktivitas obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran
khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan
metodologi dan parameter yang ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan bahan
uji yang akan dipakai di klinik. Uji praklinik adalah suatu uji yang dilakukan
pada hewan coba dengan tujuan untuk menentukan keamanan dan khasiat suatu bahan
uji secara ilmiah sebelum dilakukan uji klinik.
· Uji Toksisitas In Vitro
Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian
yakni uji toksisitas in vitro dan uji toksisitas in vivo . Pada umumnya uji
toksisitas in vitro hanya untuk obat terbatas saja, sebagai contoh uji obat
antiinfeksi menggunakan kultur media bakteri penyebab penyakit, obat antivirus
menggunakan kultur jaringan untuk perkembangbiakan virus tertentu, obat
antikanker menggunakan kultur jaringan sel kanker atau sel normal dan
anthelmintik menggunakan kultur/media cacing dapat tumbuh dan berkembang,
demikian pula terhadap obat antijamur. Sedangkan untuk mengetahui keamanan
bahan uji yang telah lolos melalui uji toksisitas in vitro, masih dilakukan
tahapan uji toksisitas in vivo sebelum pelaksanaan uji lebih lanjut.
· Uji Toksisitas In Vivo
Uji toksisitas in vivo adalah suatu uji toksisitas
yang dilakukan pada hewan coba, dengan tujuan untuk menentukan tingkat
ketoksikan suatu zat/bahan terhadap perubahan fungsi fisiologis maupun
perubahan yang bersifat patologis pada organ vital dalam kurun waktu tertentu.
Uji toksisitas in vivo meliputi uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus.
Berdasarkan lama waktu terjadinya efek toksik maka uji toksisitas umum dibagi
atas tiga bagian yakni uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronis dan uji
toksisitas kronis, sedangkan uji toksisitas khusus meliputi uji teratogenik,
uji kasinogenik dan uji mutagenik.
· Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah suatu uji untuk menentukan
tingkat ketoksikan suatu zat/bahan yang dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih
dari 24 jam, dengan dosis tunggal atau dosis berulang. Tujuan dilakukan uji
toksisitas akut adalah disamping untuk menentukan bahaya pemaparan suatu bahan
secara akut, juga untuk menentukan batas keamanan (margin of safety) suatu
bahan dengan menentukan dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan coba
(lethal dose 50% = LD50). Rute pemberian dalam pelaksanaan uji toksisitas akut
pada hewan coba dilakukan dengan 2 cara yakni: Cara pemberian yang di sarankan
untuk dipakai di klinik, Cara pemberian intravena, jika memungkinkan, hal ini
dimaksudkan untuk meyakinkan bila terjadi pemaparan bahan uji secara sistemik.
Hewan coba yang dipakai sedikitnya dua spesies mamalia, termasuk spesies
nonroden jika memungkinkan, serta dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Untuk
bahan uji yang mempunyai daya toksisitas rendah dimulai dengan dosis maksimum
yang tidak menimbulkan efek toksik.
· Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas subkronis adalah suatu uji untuk
menentukan tingkat ketoksikan suatu zat/bahan dengan dosis berulang dalam kurun
waktu 14–90 hari namun WHO menyarankan sampai 180 hari tergantung dari lama
waktu pemakaian obat yang akan digunakan di klinik. Untuk bahan uji yang
dipakai di klinik berkisar 5–7 hari, seperti obat antibiotika, maka lama uji
toksisitas subkronis berlangsung 28 hari. Tujuan dari pelaksanaan uji
toksisitas subkronis adalah untuk mengetahui adanya efek toksik setelah
pemberian bahan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu khususnya
terhadap organ yang berfungsi vital di dalam tubuh hewan coba, serta untuk
mempelajari efek kumulatif bahan uji dalam tubuh. Rute pemberian harus sama
dengan yang disarankan dipakai di klinik, sedangkan hewan coba yang digunakan
pada uji toksisitas subkronis adalah dua spesies hewan mamalia berbeda termasuk
nonrodensia bila memungkinkan.
· Uji Toksisitas Kronis
Uji toksisitas kronis adalah suatu uji untuk
menentukan tingkat ketoksikan suatu bahan uji pada hewan coba dengan dosis
berulang dalam kurun waktu sepanjang umur hewan coba. Tujuan dari uji
toksisitas kronis adalah untuk mengetahui profil toksisitas suatu bahan uji
secara berulang dalam jangka panjang. Karena waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaan uji toksisitas kronis sangat panjang maka dalam pelaksanaannya
dilakukan bersamaan dengan uji klinik. Persyaratan yang berlaku pada
pelaksanaan uji toksisitas kronis seperti hewan coba, dosis bahan uji serta
rute pemberian sama dengan persyaratan seperti pada pelaksanaan uji toksisitas
subkronis.
· Uji Toksisitas Khusus
Uji toksisitas khusus adalah suatu uji yang khusus
dilakukan untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu bahan uji yang diduga
potensial dapat menimbulkan efek khusus pada hewan coba seperti dapat
mengganggu perkembangan fetus dalam kandungan, atau bahan uji yang berdasarkan
struktur kimia diduga potensial menyebabkan onkogenitas, atau bahan uji yang
dalam pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan secara genetik .
Pada tahap ini kemungkinan terjadi malformasi dalam perkembangan embrio akibat
pemaparan bahan uji. Parameter yang menjadi penilaian adalah terjadi
abnormalitas pada perkembangan fetus tanpa menimbulkan toksisitas bermakna pada
induknya. Mutasi gen adalah perubahan pada sekuen nukleotida pada satu atau beberapa
segmen yang dikode gen dalam bentuk substitusi basa purin atau pirimidin, atau
penghilangan/pergeseran basa tertentu yang berakibat perubahan pada sekuen DNA.
Mutasi kromosomal yaitu perubahan morfologi pada struktur kromosom seperti
abrasi kromosom, delesi kromosom.
3.
UJI KLINIK
Uji klinik pada manusia hanya dapat
dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan
berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya
dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan
memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan
merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan
(reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase
I: dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas
obat tradisional
Fase
II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase
II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase
III: uji klinik definitif
Fase
IV: pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat
timbulnya.
· Uji Klinik Fase I:
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk
pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat,
bukan efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Dosis oral yang
diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada hewan,
dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai
diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan. Pada
fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan farmakokinetikanya pada
manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk meningkatkan
pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan
dengan hasil uji pada hewan coba sehingga diketahui pada spesies hewan mana obat
tersebut mengalami proses farmakokinetika seperti pada manusia.Total jumlah
subjek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang.
· Uji Klinik Fase II:
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya
pada sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat.
Tujuannya ialah melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I
berguna atau tidak untuk pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh orang- orang
yang ahli dalam masing-masing bidang yang terlibat. Protokol penelitian harus diikuti
dengan dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, dan setiap penderita harus
dimonitor dengan intensif. Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat
dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Ini
dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa yang
melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk menjamin
validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan pemberian
obat dilakukan secara tersamar ganda.. Jumlah subjek yang mendapat obat baru
pada fase ini antara 100-200 penderita.
· Uji Klinik Fase III:
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa
suatu obat-baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase
II) dan untuk mengetahui kedudukannya
dibanding- kan dengan obat standar. Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah
besar penderita yang tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang
yang tidak terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari- hari
dimasyarakat. Pada uji klinik fase III
ini biasanya pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tapi dosis
berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang
indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak
dan tersamar ganda. Bila hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru
ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah
penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.
· Uji Klinik Fase Iv:
Fase ini sering disebut post marketing drug
surveillance karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.
Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Pada fase ini
kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah. Studi fase IV dapat juga
berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat
terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik
untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini terjadi
pada golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan antipiretik
Komentar
Posting Komentar